Permasalahan
yang timbul dalam penatausahaan Badan Layanan Umum (BLU) dan solusinya.
Dalam BLU terdapat beberapa masalah yang
menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat peraturan perundangan
yang ditakutkan pada kemudian hari akan menimbulkan masalah. Masalah-masalah
ini dikhawatirkan dapat mengganggu proses kerja BLU secara menyeluruh, sehingga tujuan-tujuan awal BLU yang ditetapkan dikhawatirkan tidak tercapai. Adapun masalah-masalah
tersebut adalah :
1. Pengelolaan kas BLU menghambat pembentukan
Treasury Single Account sebagaimana diamanatkan UU No.1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU pasal 16
ayat (1), BLU menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengelolaan kas. Kegiatan itu
antara lain : merencanakan
penerimaan dan pengeluaran kas, melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan,
menyimpan kas dan mengelola rekening bank, melakukan pembayaran, mendapatkan
sumber dana untuk menutp defisit jangka pendek dan memanfaatkan surplus kas
jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Dalam pasal 14 juga
disebutkan bahwa penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan
sebagai pendapatan BLU dan pendapatan lainnya yang bersumber dari selain
APBN/APBD (pendapatan operasional, hibah maupun hasil kerjasama dengan pihak
lain) dilaporkan sebagai PNBP kementerian/lembaga atau PNBP daerah.
Pendapatan-pendapatan ini (kecuali hibah terikat) dapat “dikelola langsung”
untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA. Aturan ini menjadi tidak sesuai dengan
pasal 12 ayat (2) dan pasal 13 ayat (2) UU No. 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran
Negara/ Daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara/Daerah.
Walaupun hal ini bisa diperdebatkan karena dalam
menyelenggarakan kegiatannya BLU juga membuat perencanaan kerja dan
penganggaran yang tertuang dalam Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) BLU, namun
pada kenyataannya antara perencanaan anggaran dengan realisasinya sangat besar
kemungkinan timbul selisih atau varians. Varians timbul karena BLU dapat
menghimpun dana selain dari APBN/APBD dan dapat “dikelola langsung”
untuk membiayai belanja BLU. Memang benar belanja BLU yang dimaksud harus
sesuai dengan RBA BLU, namuun kondisi semacam ini dikhawatirkan akan
menimbulkan permasalahan terutama apabila varian ini digunakan baik oleh BLU
maupun kementerian Negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah guna menghimpun dana nonbudgeter
(dana taktis) yang secara tegas oleh Suryohadi Djulianto, penasihat KPK,
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Pemerintah sebenarnya sudah menerapkan beberapa
alternatif untuk mengatasi hal ini, yaitu dengan mensyaratkan RBA BLU agar
sesuai dengan rencana strategis kementerian Negara/lembaga/pemerintah daerah.
Selain itu juga sudah diatur mengenai tindakan yang dilakukan apabila terjadi
pelanggaran hukum atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian Negara/daerah pada
BLU dan penerapan otorisasi batasan maksimal penggunaan anggaran secara
bertingkat.
Namun, selain hal tersebut di atas, pemerintah melalui
Menteri Keuangan selaku BUN sebaiknya mengeluarkan peraturan terkait proses
atau mekanisme pengelolaan kas BLU yang lebih rinci meliputi teknis dan
administrasinya. Semua penerimaan BLU yang dikategorikan sebagai PNBP dan
pengeluaran BLU harus terlebih dahulu dilakukan melalui Rekening Kas Umum
Negara Daerah sebagaimana diamanatkan UU No. 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Dan terkait istilah dapat “dikelola langsung” untuk
membiayai belanja BLU tetap harus mengikuti tertib administrasi sebagaimana
instansi public lain yang menerapkan prosedur SPM dan SP2D. Yang perlu diatur
lebih lanjut adalah mengenai batasan fleksibilitas penerapan praktik bisnis BLU
terkait pengelolaan kas/anggaran agar tetap sesuai dengan RBA dan rencana
strategis instansi induk (kementerian Negara/lembaga/pemerintah daerah) yang
bersangkutan. Peraturan yang akan dibuat ini tidak hanya diperuntukkan bagi BLU
saja, tetapi juga meliputi instansi yang merupakan otorisator penerimaan maupun
pengeluaran Negara/Daerah demi menjaga efisiensi pengelolaan BLU.
2. BLU dapat menggunakan surplus
anggarannya untuk kepentingan BLU tersebut.
Dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan
Layanan Umum disebutkan bahwa “Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun
anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan
sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan
posisi likuiditas BLU”. Surplus anggaran BLU yang dimaksud disini adalah
selisih lebih antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan
laporan keuangan operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran.
Surplus tersebut diestimasikan dalam RBA tahun anggaran berikut untuk disetujui
penggunaannya.
Padahal, sesuai dengan pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa “Surplus penerimaan/negara dapat
digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya”.
Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan “Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau
penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari DPR/DPRD”. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah
perlakuan surplus adalah dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Peruntukan lain terhadap surplus anggaran ini harus memperoleh persetujuan
DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus anggaran ini
menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang lebih tinggi
dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.
Solusi untuk masalah ini sebenarnya agak susah karena ada
dua hal yang bisa diajukan sebagai argumen dalam mempertahankan pendapat
mengenai aturan mana yang harus dipakai. Argumen tersebut adalah :
a. Menurut pasal 7
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan aturan
yang seharusnya dipakai adalah aturan mengenai surplus yang ada di UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini disebabkan karena peraturan yang
berada lebih rendah dalam hirarki tidak boleh bertentangan dengan peraturan
hukum yang lebih tinggi.
b. Akan tetapi,
mengingat adanya asas lex specialis derogat lex generalis dimana apabila
ada aturan yang lebih khusus, maka aturan tersebut mengesampingkan aturan yang
bersifat umum, maka aturan mengenai surplus yang harus dipakai adalah aturan
khusus yang mengatur tentang BLU yaitu PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Badan Layanan Umum.
Sebenarnya permasalahan seperti di atas tidak perlu terjadi apabila pembuat-pembuat
keputusan lebih banyak melakukan pencarian referensi dalam menyusun peraturan,
sehingga di kemudian hari tidak diharapkan terjadi lagi pertentangan seperti
ini. Pertentangan seperti ini tentu akan merugikan bagi level-level pelaksana
peraturan dikarenakan adanya kebingungan dalam memilih aturan mana yang harus
dipakai.
3. Badan Layanan Umum dari sisi Perpajakan
Pemerintah mempunyai dua peran pokok yaitu mengumpulkan
sumber daya dan mengalokasikannya lagi kepada masyarakat. Selain berperan sebagai
fungsi alokasi, BLU juga bisa dilihat dari sisi perpajakannya. Kalau kita
telaah kembali pos-pos dalam I-Account sesuai dengan PMK No.
91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar, pendapatan negara berasal dari
penerimaan pajak, penerimaan negara bukan pajak dan hibah. Jadi jelaslah bahwa
negara sangat mengandalkan penerimaan dari sektor pajak.
Menurut Undang- Undang nomor 36 tahun 2008 tentang
perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan menyebutkan bahwa BLU bukanlah merupakan subjek pajak. Menurut
Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan ayat (3) huruf b tersebut, subjek pajak
adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a. pembentukannya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pembiayaannya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah;
c. penerimaannya
dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
d. pembukuannya
diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Suatu badan pemerintah baru dikategorikan sebagai bukan subjek pajak apabila keempat aspek diatas terpenuhi dan BLU merupakan badan pemerintah yang memenuhi keempat aspek diatas, oleh karena itu jelaslah bahwa BLU bukan merupakan subjek pajak.
Badan yang didanai dari APBN/APBD tidak memiliki
kewajiban PPh terhadap diri sendiri. Dengan kata lain, Badan tersebut tidak
perlu melaporkan PPh 25 (SPT Masa) maupun PPh 29 (SPT Tahunan) karena bukan
subyek pajak. Namun ada masalah yang timbul disini, yaitu apabila suatu badan
menerima pendanaan dari APBN/APBD namun masih mendapatkan pembiayaan dari luar
APBN/APBD atau tidak seluruh penerimaan dan pembiayaan tercatat dalam
APBN/APBD, maka kewajiban menghitung pajak sendiri (PPh 25/29) disamakan dengan
badan swasta lain. Sebagai contoh adalah Badan Hukum Pendidikan (BHP)
Universitas Indonesia yang masih disebut sebagai subjek pajak. Secara perlakuan
mereka sama seperti BLU yang menerima APBN/APBD namun kenapa mereka disebut
sebagai subjek pajak sedangkan BLU bukan merupakan subjek pajak. Secara sekilas
kita dapat melihat adanya dualisme pelakuan pemerintah disini, yaitu antara BLU
dan BHP.
Untuk menelaah hal tersebut kita kembali lagi ke definisi
badan menurut UU PPh yang menyebutkan bahwa badan yang dimaksud adalah unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi keempat syarat menurut UU PPh agar
bisa disebut sebagai bukan subjek pajak. BHP bukanlah unit tertentu dari badan
pemerintah karena ia sudah merupakan badan hukum sendiri yang secara independen
terpisah dari pemerintah. Oleh karena itu Pasal 2 ayat (3) UU PPh diatas tidak
berlaku bagi BHP dan badan lainnya yang bukan merupakan unit tertentu dari
badan pemerintah walaupun mereka memperoleh pembiayaan dari APBN/APBD.
Berkaitan dengan PP no 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan BLU, apabila suatu badan pemerintah sudah mendapat penetapan sebagai
BLU, karena seluruh penerimaan dan pembelanjaan masuk APBN/APD, maka BLU
tersebut bukan merupakan subyek pajak sehingga tidak memiliki kewajiban
membayar PPh Badan (pasal 25 dan PPh 29). Namun demikian BLU tetap memiiliki
kewajiban sebagai pemungut pajak PPh pasal 21, 23, 26, dan pasal 4 ayat (2)
berkaitan dengan aktivitas pembayaran gaji, honor, jasa, sewa, dll kepada
karyawan dan pihak ketiga. Berkaitan dengan transaksi penyerahan obat kepada
pasien, BLU juga berpotensi memiliki kewajiban memungut PPN (pajak pertambahan
nilai) dan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
Lalu bagaimanakah dengan pendapatan BLU tersebut? Pada
pasal 14 PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa pendapatan BLU dilaporkan sebagai
pendapatan negara bukan pajak kementrian/lembaga atau pendapatan negara bukan
pajak pemerintah daerah. Beberapa penggagas BLU juga menyatakan bahwa BLU
dibebaskan dari kewajiban membayar PPh Badan atas sisa anggaran atau hasil
usaha/nilai tambah karena BLU bukan subjek pajak.
4. Pengelolaan PNBP pada BLU bertentangan
dengan UU yang mengatur tentang PNBP
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh
penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
Pengertian ini tertuang dalam Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak. PNBP tersebut antara lain penerimaan dari kegiatan
pelayanan yang dapat dilaksanakan kepada masyarakat, seperti pendidikan dan
kesehatan.
Pada pasal 4 UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP juga
disebutkan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara.
Dan pada pasal 8 dinyatakan bahwa sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat
digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut
oleh instansi yang bersangkutan.
Dari pasal-pasal di atas dapat diketahui bahwa PNBP
merupakan salah satu unsur penerimaan negara yang masuk dalam struktur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan seluruh penerimaan
Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
Dalam kaitannya dengan BLU, aset yang ada di BLU
merupakan milik negara yang tidak dipisahkan, demikian juga pembiayaan
operasionalnya seperti listrik, gaji dosen dan karyawan berasal dari
pemerintah/negara. Dengan demikian, pendapatan yang diperoleh BLU merupakan
PNBP. Hal ini juga tertuang dalam pasal 14 PP No. 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Kas BLU yang menyatakan bahwa pendapatan BLU akan dilaporkan
sebagai pendapatan bukan pajak.
Pengelolaan PNBP pada BLU tidak sejalan dengan UU Nomor
20 tahun 1997 tentang PNBP, karena PNBP oleh BLU dapat langsung digunakan untuk
membiayai belanja BLU, baik sebagian atau seluruhnya. Hal ini, dalam Pasal 69
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan tegas dinyatakan bahwa
pendapatan BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan beserta hibah
maupun sumbangan yang diperoleh dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja
BLU yang bersangkutan. Begitu juga dalam Pasal 16 ayat (1) PP No. 23 Tahun
2005, yakni dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai
berikut: (a). merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas; (b). melakukan
pemungutan pendapatan atau tagihan; (c). menyimpan kas dan mengelola rekening
bank; (d). melakukan pembayaran; (e), mendapatkan sumber dana untuk menutup
defisit jangka pendek; dan (f). memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk
memperoleh pendapatan tambahan.
Sesuai amanat UU PNBP dan UU Perbendaharaan Negara, maka
seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara, sehingga
mengimplikasikan bahwa pemerintah tidak diperbolehkan untuk melakukan
penerimaan/pemungutan dana non-budgeter. Apabila konsep penerimaan kas yang
dilakukan oleh BLU dipandang secara simultan dari kedua UU tersebut maka hal
ini akan semakin rancu. BLU bisa dianggap tidak sesuai dengan UU PNBP karena
adanya kewenangan menggunakan pendapatan secara lansung, baik sebagian maupun
seluruhnya. Dan, jika dipandang dari sisi UU Perbendaharaan Negara, maka
pengelolaan kas pada BLU yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2004 dan PP No. 23
Tahun 2005 juga bertentangan dengan UU Perbendaharaan Negara itu sendiri. Dalam
pasal 12 UU No. 1 Tahun 2004 dinyatakan bahwa setiap penerimaan dan pengeluaran
negara dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara pada Bank Sentral.
5. Masalah
penganggaran.
Selama
ini calon BLUD/BLUD selalu salah ditempat yang sama. Karena saat pembahasan
anggaran, tidak pernah dibahas detil mengenai rencana kegiatan yang ada
sehingga timbulah anggaran yang gelondongan. Jika penganggaran sudah tertata
(didetilkan) sejak penetapan anggaran, maka dengan Keppres 80 pun bisa bebas.
Contoh kasus pada BLUD Rumah Sakit untuk
pengadaan obat 25M di sebuah Prov, dalam APBD. Sehingga dalam pelaksanaan harus
lelang obat senilai 25M. Kesalahannya: mengapa dalam pelaksaan RKA tidak ada
penjelasan bahwa 25M itu dilaksanakan bertahap per triwulan. Penjelasan seperti
ini boleh saja, justru diajurkan sebagai petunjuk penggunaan anggaran.
Kesalahan lain dalam perencanaan obat; yaitu direncanakan per pola penyakit.
Sebenarnya boleh perencanaan per pabrikan, sehingga bisa tunjuk langsung karena
sudah spesifik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar